Hubungan 8 Development Goals dengan Pembangunan Pariwisata

Posted By:
Published: 3:54 PM


Hubungan 8 Development Goals dengan Pembangunan Pariwisata
Makalah dibuat oleh: Dhika Fajar Prasetya
Mahasiswa STIEPAR YAPARI AKTRIPA BANDUNG

Pariwisata merupakan sebuah industri yang berkembang, dinamis, dan interaktif. Industri
ini seakan tidak mengenal waktu, perkembangan yang semakin pesat disebabkan karena
kebutuhan manusia untuk berekreasi semakin meningkat dan industri pariwisata ini
bagaikan jantung yang menggerakkan roda perekonomian serta salah satu industri
terbesar dan menjadi sektor andalan di dalam pembangunan ekonomi dan penyediaan
lapangan pekerjaan serta pengetasan kemiskinan. Tingginya investasi mendorong
peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan devisa, peningkatan pendapatan
pemerintah dan keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. kesemuanya
ini juga berdampak pada dinamika masyarakat dan kesejahteraan masyarakat serta
mensukseskan program Perserikatan Bangsa-bangsa berkaitan dengan Millennium
Developmen Goals (MDGs).

Tujuan MDGs yaitu pengentasan kemiskinan, tercapainya kesejahteraan masyarakat dan
pemerataan pembangunan masih jauh dari harapan dan kenyataan, tingginya tingkat
kemiskinan dan kehidupan yang belum sejahteraan bertolak belakang dengan cita-cita
bangsa serta program Perserikatan Bangsa-bangsa berkaitan dengan Millennium
Developmen Goals (MDGs).Pencapaian Millennium Developmen Goals (MDGs) di
Indonesia belum sesuai dengan harapan dan cita-cita bangsa, kebijakan-kebijakan
pembangunan industri pariwisata dan penyediaan lapangan pekerjaan serta pengetasan
kemiskinan belum sepenuhnya mensejahterakan masyarakat sebaliknya kemiskinan
masih banyak ditemukan yang berdampak terhadap pengentasan kemiskinan.

Kata-kata kunci: Pariwisata sektor andalan Pembangunan ekonomi, Pengetasan
kemiskinan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan MDGs di Indonesia
belum sesuai harapan.

I. Pendahuluan
Pariwisata sebagai suatu industri memiliki cakupan yang sangat luas baik dari segi
subyek, obyek, maupun aktivitasnya. Perkembangan pariwisata yang semakin pesat
disebabkan karena kebutuhan manusia untuk berekreasi semakin meningkat. Berbagai
sarana dan prasarana penunjang kegiatan pariwisata bermunculan, tumbuh dan
berkembangnya dengan pesat. Industri pariwisata ini bagaikan jantung yang
menggerakan roda perekonomian masyarakat.
Tujuan utama dari kegiatan pariwisata yang dilakukannya adalah untuk memperoleh
kesenangan atau menghilangkan perasaan tertekan karena rutinitas kerja. Jadi dalam hal
ini perolehan kepuasaan dari kegiatan yang dilakukan wisatawan menjadi sangat penting.
Selama ini banyak ditemukan defenisi mengenai wisatawan yang masing-masing
digunakan oleh negara pengembanganya, sehingga untuk menganalisasisnya tidak
begitu mudah.
Konsep “ wisatawan” berasal dari kata dalam bahasa Sansekerta “wisata” yang
berarti “perjalanan” yang sama atau dapat disamakan dengan kata “travel” dalam bahasa
Inggris. Jadi orang yang melakukan perjalanan dalam pengertian ini, maka wisatawan sama
artinya dengan kata “traveler” karena dalam bahasa Indonesia sudah merupakan
kelaziman memakai akhiran “wan” untuk menyatakan orang dengan profesinya,
keahliannya, keadaanya jabatannya dan kedudukan seseorang. Jadi kata “wisatawan”
dalam beberapa hal berbeda dengan “tourist” dalam bahasa Inggris
(RG. Soekadijo,2000).
Pariwisata menurut Yoeti (2001;47) adalah kegiatan bersenang-senang. Syarat suatu
perjalanan disebut sebagai perjalanan wisata, apabila (1) perjalanan di lakukan dari suatu
tempat ke tempat lain, di luar tempat kediaman orang itu biasa tinggal; (2) perjalanan
yang dilakukan minimal 24 jam atau lebih; (3) tujuan perjalanan semata-mata untuk
bersenang-senang, dan tidak untuk mencari nafkah atau bekerja di tempat atau negara
yang dikunjungi; dan (4) orang tersebut semata-mata sebagai konsumen di tempat yang
dikunjunginya dan uang yang dibelanjakannya dibawah dari negara asalnya atau tempat
tinggalnya semula dan bukan dicari atau diperoleh di tempat kota, atau negara yang
dikunjunginya. Pengeluaran wisatawan merupakan devisa di dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam pengetasan kemiskinan, peningkatan pembangunan
pariwisata serta mensukseskan program Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkaitan  
dengan Millennium Development Goals (MDGs).
Pembangunan pariwisata dapat meningkatkan perekonomian suatu negeri, dan
dunia. Sektor ini memberikan peluang bergeraknya berbagai kegiatan ekonomi
masyarakat. Para turis yang berkunjung pada suatu negara membawa devisa ke negara
tersebut. Dengan devisa, maka negara akan memperoleh dana pembangunan untuk
meningkatkan perekonomian dan memberantas kemiskinan. Dengan demikian devisa
meningkat perekonomian negara dan dunia. Karena itu, maka sektor pariwisata
merupakan salah satu sektor yang mampu mengintegrasikan kemajuan perekonomian
pada berbagai dimensi pada skala nasional, regional, dan global.
Adapun kemiskinan merupakan permasalahan nasional,regional, dan global yang
tidak bisa dibiarkan, sebab menyengsarakan umat manusia. Mengetaskan kemiskinan
memerlukan dana besar. Salah satu cara mengentaskan kemiskinan rakyat adalah
melibatkan rakyat miskin dalam berbagai kegiatan integratif dengan bisnis pariwisata
serta mensukseskan program PBB berkaitan dengan Millennium Development Goals
(MDGs) berkaitan dengan mengakhiri kemiskinan dan kelaparan.

II. Dampak Ekonomi Pengembangan Pariwisata
Pariwisata secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga
membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Dampak yang ditimbulkan
berkaitan dengan sosial, budaya, ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Pariwisata
akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan dan pendapatan masyarakat untuk
melakukan perjalanan pariwisata.
Pengembangan pariwisata banyak mendatangkan manfaat ekonomi, tetapi jika tidak
direncanakan dengan baik, akan menimbulkan dampak yang cukup banyak. Dampak
ekonomi yang dimaksud adalah:
1.    Pekerjaan yang diciptakan melalui pariwisata mungkin rendah bayarannya dan
 memerlukan sedikit keterampilan.
2.    Peningkatan harga mungkin merupakan hasil dari bisnis lokal mencoba meningkatkan keuntungan atau menutupi biaya karyawan tambahan.
3.    Nilai properti meningkat, ini terjadi jika masyarakat menjadi “ hot spot” seorang turis. Hal ini akan mengakibatkan pajak properti yang lebih tinggi yang mungkiN kurang baik untuk penduduk lokal.
4.    Jika pariwisata musiman di tempat tujuan, jadi juga akan injeksi pendapatan ke masyarakat.
5.    Penyediaan layanan kesehatan dan layanan polisi bisa meningkat selama musim wisata dengan mengorbankan basis pajak daerah.
6.    Keterjangkauan dan ketersediaan perumahan staf bisa menimbulkan masalah.
Disamping itu juga dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikatagorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen,1984) yaitu :
1.    Dampak terhadap penerimaan devisa,
2.    Dampak terhadap pendapatan masyarakat,
3.    Dampak terhadap kesempatan kerja,
4.    Dampak terhadap harga-harga,
5.    Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,
6.    Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol,
7.    Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
8.    Dampak terhadap pendapatan pemerintah
Disamping itu juga permasalahan pariwisata yang muncul kepermukaan, yakni
rendahnya kualitas pelayanan pariwisata, rendahnya jumlah nilai dan investasi,
ketidaksiapan sarana dan prasarana destinasi, perusakan lingkungan, keamanan,
kebersihan dan ketertiban destinasi, masyarkat tidak siap menjadi destinasi wisata,
lemahnya koordinasi, peran serta pelaku usaha tidak sinkron dan tidak harmonis, citra
Dampak-dampak negatif tersebut harus diantisipasi sejak dinin agar tidak
menimbulkan kerugian yang bersifat jangka panjang bagi suatu destinasi pariwisata.
Pertama, ketika suatu wilayah tertentu berkembang menjadi destinasi pariwisata, maka
permitaan akan produk lokal dan tanah di wilayah tersebut akan meningkat, sehingga
harga akan terus meningkat. Kedua, di dalam hasil penelitian the United Nation Economic
and Social Commission for Asia and Pacific (UNESCAP) disebutkan bahwa sebagaian
keuntungan yang dihasilkan dari sektor pariwisata internasional akan kembali ke negara
asal wisatawan. Ketiga, kegiatan sektor di pariwisata dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan yang serius. Keempat, polotisari sektor pariwisatajuga dapat terjadi dalam hal-
hal tertentu. Pada umumnya pemerintah di negara maju memiliki posisi tawar (bergaining
posisition) yang sangat tinggi dibandingkan dengan negara berkembang dalam hal
penentapan kebijakan lalau lintas warga negaranya ke luar negeri. Kelima sektor pariwisata
dapat menimbulkan benturan ditinjau dari aspek sosial dan budaya. (M.L.Narasaiah).
Pariwisata telah memberikan devisa yang cukup besar bagi berbagai negara/daerah
pariwisata telah menjadi penghasil devisa terbesar. Devisa yang diterima bagi Indonesia
secara berturut-turut pada tahun 1996,1997,1998,1999, dan 2000 adalah sebesar
6,307,69; 5,321.46;4,331.09; 4,710.22; dan 5,748,80 juta dolar AS (Santosa 2001).
Antara dan Parining (1999) mengemukakan bahwa pariwisata mempunyai keterkaitan
ekonomi yang snagat erat dengan banayak sektor, melalui apa hal yang disebut open-loop
effect dan iduced-effect (di samping istilah yang sudah umum dikenal sebagai trickle- down
effect dan multiplier effect). Dengan menggunakan model SAM (Social Accounting
Matrix), ditemukan bahwa pengaruh pengeluaran wisatawan sangat signifikan terhadap 5
denyut nadi perekonomian nasional.
Dalam segi penyerapan tenaga kerja, WTO melukiskan bahwa satu dari delapan
pekerja di dunia ini kehidupannya tergantung, langsung ataupun tidak langsung dari
pariwisata. Pada tahun 1995, pariwisata telah menciptakan kesempatan kerja secara
langsung untuk 211 juta orang. Pada tahun 2001, pariwisata telah menciptakan
kesempatan kerja bagi 207 juta orang, atau lebih dari 8% kesempatan kerja di seluruh
dunia (UNEP, 2002). Pada tahun 2005, diprakirakan pariwisata akan menciptakan
lapangan kerja bagi 305 juta orang. Kalau mesin penggerak dalam penciptaan tenaga
kerja pada abad 19 adalah pertanian, dan pada abad 20 adalah industri manufaktur,
maka abad 21, mesin penggerak tersebut adalah pariwisata (Dawid J. De Villier,1999;
Salah Wahab, 1999. Pada tahun 2001, pariwisata menciptakan investasi sebesar 630
milard dolar AS, atau sekitar 9% dari seluruh investasi dunia (UNEP,2002). Bagi
Indonesia, peranan pariwisata semakin terasa, terutama setelah melemahnya peranan
minyak dan gas, walaupun nilai nominalnya dalam dolar sedikit mengalami fluktuasi.
Dengan pentingnya peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai
negara, pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara, pariwisata sering
disebut sebagai passport to development, new kind of sugar, tool for regional
development, new kind og sugar, tool for regional development, invisible export, invisible
export, dan sebagainya. (Pitana,2002).
Peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi sudah jelas dari angka-angka
statistik yang dikemukakan di atas. Tetapi pariwisata bukan hanya masalah ekonomi,
melainkan juga masalah sosial, budaya, politik dan seterusnya. Pariwisata adalah suatu
sistem yang multikompleks, dengan berbagai aspek yang saling terkait dan saling
mempengaruhi antara sesama. Dalam dasarwasa terakhir, pariwisata telah menjadi
sumber penggerak dinamika masyarakat dan menjadi salah satu prime-mover dalam
perubahan sosial budaya.

III. Pengetasan Kemiskinan dan MDGs
Arti kemiskinan manusia secara umum adalah “ kurangnya kemampuan esensial
manusia terutama dalam hal “ ke-melak-huruf-an (kemampuan membaca; literacy)  
serta tingkat kesehatan dan gizi”. Selain itu diartikan pula sebagai kurangnya pendapatan
sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi minimum. Defenisi atau
pengertian kemiskinan perlu pula dibedakan antara kemiskinan absolut (absolute poverty)
dan kemiskinan relatif (relatif poverty). Kemiskinan absolut diidikasikan dengan suatu
tingkat kemiskinan yang di bawah itu kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat
dipenuhi. Sedangkan kemiskinan relatif adalah suatu tingkat kemiskinan dalam
hubungannya dengan suatu rasio garis kemiskinan absolut atau proporsi distribusi
pendapatan (kesejahteraan) yang timpang (tidak merata) (ADB,1999:26)
          Dalam sebuah laporan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang berjudul “ Report
on internasional Definition and Measurement of Standards and level of living”, telah
dikemukakan dua belas macam komponen sebagai dasar untuk memperkirakan
kebutuhan minimum manusia. Tetapi komponen-komponen tersebut adalah : Kesehatan,
pangan dan gizi, pendidikan, kondisi pekerjaan, situasi kesempatan kerja, sandang,
perumahan, rekreasi dan hiburan, jaminan sosial, dan kebebasan
manusia.(Hendara,1986).
Badan Pusat Statistik menegaskan, angka penduduk miskin di Indonesia sejak
tahun 2006 terus menurun meski jumlah penduduk hampir miskin juga besar. “Sejak
2006, data penduduk miskin turun dari 39,3 juta menjadi 31,02 juta dengan memakai
garis kemiskinan, yaitu garis kemiskinan makanan dan non makanan. (Kecuk
Suhariyanto,2011). Data untuk menghitung penerima beras miskin adalah data
kemiskinan mikro yang merupakan jumlah penduduk miskin sebesar 31,02 juta jiwa
ditambah penduduk hampir miskin yang mencapai 29,38 juta jiwa. Upaya
penanggulangan kemiskinan, jangan hanya mengandalkan kebijakan di bidang sosial,
politik, hukum, dan kelembagaan karena upaya penanggulangan kemiskinan harus
dilakukan secara menyeluruh, terpadu lintas sektor, dan berkesinambungan khususnya
ekonomi berbasis rakyat.
Dalam pembangunan nasional, rakyat adalah subjek pembangunan,
pembangunan untuk rakyat, bukan sebaliknya. Sebagaimana ditegaskan dalam cita-cita
nasional (Pembukaan UUD 1945). Bahwa pemerintahan negara wajib” … melindungi
segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa… ” serta berpedoman pada pasal 27 ayat 2 bahwa “… Tiap-tiap warga negara
berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan …”. Jadi,
pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi (GNP) adalah derivat dari tuntutan
untuk membangun dan memajukan rakyat berdasarkan kemandirian.
Pengentasan kemiskinan dilakukan dengan pembangunan yang bertumpu pada
pertumbuhan ekonomi . Para pengambil keputusan memandang pertumbuhan output
nasional dan regional yang dinyatakan dalam pendapatan perkapita atau GNP dapat
mendorong kegiatan ekonomi lainnya (multiplier effect), yang pada gilirannya
menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan peluang berusaha. Bila skenario ini
berjalan sesuai dengan asumsi tersebut, kemiskinan secara tidak langsung dapat
dientaskan. Namun pengalaman menunjukkan peningkatan produk domestik bruto (GNP)
tidak dengan sendirinya membawa peningkatan standar hidup masyarakat secara
keseluruhan maupun individu.
Menurut Harrod-Domar, tingkat pertumbuhan GNP ditentukan secara bersama- sama
oleh rasio tabungan nasional, serta rasio modal-ouput nasional secara lebih spesifik,
menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan pendapatan nasional akan secara langsung atau
secara “positip” berbanding lurus dengan rasio tabungan (yakni semakin
banyak GNP yang ditabung dan diinvestasikan, maka pada akhirnya nanti akan lebih
besar lagi pertumbuhan GNP yang ditabung dan diinvestasikan, maka pada akhirnya
nanti akan lebih besar lagi pertumbuhan GNP yang dihasilkannya) dan secara “negatif”
atau perbandingan terbalik terhadap rasio modal-output nasional, maka tingkat
pertumbuhan GNP akan semakin rendah. (Todaro,1989).
Ketidakadilan dan struktur ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum miskin,
membuat output pertumbuhan tersebut tidak terdistribusi secara merata . Teori tickle
down effect yang mendasari kebijakan di atas tidak berlaku sepenuhnya. Kemakmuran
tersebut umumnya hanya akan ” menetes” kepada lapisan masyarakat tertentu yang
secara komperatif memilki pengetahuan, keterampilan, daya saing, dan absorptive
eapacity yang lebih baik.
Untuk mendorong perekonomian rakyat, banyak para ahli menyarankan agar
paket-paket deregulasi dapat secara langsung membantu atau mendorong tumbuhnya
perekonomian rakyat, sekaligus untuk mengatasi kesenjangan antara golongan ekonomi
kuat dengan ekonomi lemah. Untuk itu, selain perlunya peranan pemerintah, maka
pengembangan keswadayaan masyarakat juga penting artinya. Pengembangan
keswadayaan masyarakat selain memerlukan kebijakan publik yang menyentuh
kepentingan masyarakat, inisiatif dari bawah, yang berasal dari masyarakat.

IV. Solusi Alternatif
Pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, yaitu yang menjamin bahwa
keuntungan yang optimal akan diperoleh secara berkelanjutan, hanya dapat diwujudkan
dengan pendekatan (kebijakan) yang bersifat komprehensip dan terintegrasi.
Pembangunan kepariwisataan juga harus menganut prinsip “ di sini senang, di sana
senang”. Artinya, prinsip tersebut harus dapat menyebabkan wisatawan kembali ke rumah
dengan membawa memeori yang indah tentang destinasi pariwisata atau daya tarik
wisata karena telah memberikan kenangan manis untuk wisatawan dan mengajarkan
sesuatu yang berharga bagi wisatawan (selain memperoleh keuntungan ekonomi) .
Dikaitkan dengan pemanfaatan sektor pariwisata dalam mendukung upaya
pengetasan kemiskinan. Perlu dipahami bahwa hal tersebut tidak
boleh diartikan sebagai secara sengaja menempatkan pelaku dalam industri pariwisata
khususnya tenaga kerja dan pengusaha kecil dan menengah – sebagai pihak yang perlu
dikasihani, sehingga bisnis pariwisata menjadi sebuah bisnis berdasarkan “ belas
kasihan”. Profesionalisme mereka harus ditingkatkan secara berkelanjutan, yang pada
akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan jasa dan kemudian mendorong
peningkatan pendapatan.
Peningkatan pendapatan di sektor pariwisata memiliki peran yang sangat penting . Industri
pariwisata dapat mengurangi tingkat kemiskinan karena karakteristiknya yang khas
sebagai berikut:
          1. Konsumen datang ke tempat tujuan sehingga membuka peluang bagi
               penduduk lokal untuk memasarkan berbagai komiditi dan pelayanan;
2. Membuka peluang bagi upaya untuk mendiversifikasikan ekonomi lokal
    yang dapat menyentuh kawasan-kawasan marginal;
3. Membuka peluang bagi upaya usaha-usaha ekonomi padat karya yang
   berskala kecil dan menengah yang terjangkau oleh kaum miskin; dan
4. Tidak hanya tergantung pada modal, akan tetapi juga tergantung pada
    modal budaya (cultural capital) dan modal alam (natural capital) yang
    seringkali merupakan aset yang dimilki oleh kaum
    miskin.(Tjokrowinoto,2005).
Pemanfaatan potensi sumber daya alam sering tidak dilakukan secara optimal dan
cenderung eksploitatif. Kecenderungan ini perlu segera dibenahi salah satunya melalui
pengembangan industri pariwisata dengan menata kembali berbagai potensi dan
kekayaan alam dan budaya berbasis pada pengembangan kawasan secara terpadu.
Potensi wisata alam dan budaya berbasis pada pengembangan kawasan secara
terpadu. Potensi wisata alam dan budaya pada satu kawasan adalah dalam upaya
mensinergikan berbagai kepentingan sebagaimana makna dari suatu kawasan
merupakan keterpaduan penegelolaan yang memiliki nilai promosi yaitu one stop service,
intinya pada suatu tempat dapat diberikan pelayanan dari berbagai jasa usaha pariwisata
dan dapat menikmati berbagai sajian terpadu untuk tercapainya optimalisasi aset
kepariwisataan dan kebudayaan sebagai langkah pemberdayaan masyarakat, menuju kepada
pendekatan penting Comunity Based Tourism dan Comunit Based Culture
Centered.
Pariwisata dan kemiskinan secara langsung maupun tidak langsung mempunyai
keterkaitan khususnya masyarakat yang mengatungkan pendapatan melalui pariwisata.
Banyak program pengetasan kemiskinan telah dilakukan, tetapi masih dirasakan belum
banyak keberhasilannya, hasil yang dicapai tidak efisiensi dan tidak tepat sasaran. Di sisi
lain, banyak yang belum mengerti bagaimana mengawali upaya penanggulangan
kemiskinan tersebut. Berbagai forum, dari tingkat lokal hingga internasional, menggelar
diskusi tentang kemiskinan yang intinya hanya satu, yaitu bagaimana membebaskan
manusia dari belenggu kemiskinan. Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan
adalah dengan memutus mata ratai kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok
masyarakat.
Dalam mencapai tujuan pemberdayaan, berbagai upaya dapat dilakukan melalui
berbagai macam strategi. Salah satu strategi yang memungkinkan adalah pengembangan
pariwisata berbasis masyarakat yang secara konseptual memeliki ciri-ciri unik serta
sejumlah karakter yang oleh Nasikun (2000:26-27) dikemukakan sebagai berikut: 1)
Pariwisata berbasis masyarakat menemukakan rasionalitsnya dalam properti dan ciri-ciri
unik dan karekter yang lebih unik diorganisasi dalam skala kecil, jenis pariwisata ini pada
dasarnya merupakan, secara ekologis aman, dan tidak banyak menimbulkan dampak
negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis wisata konvensional, 2) Pariwisata berbasis
komunitas memiliki peluang lebih mampu mengembangkan obyek-objek dan atraksi-atraksi
wisata berskala kecil dan oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas
dan pengusaha-pengusaha lokal, 3) Berkaitan sangat erat dan sebagai konsekuensi dari
keduanya lebih dari pariwisata konvesional, dimana komunitas lokal melibatkan diri dalam
menikmati keuntungan perkembangan pariwisata, dan oleh karena itu lebih memberdayakan
masyarakat.

V. Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan dari analisis berkaitan dengan pariwisata, pengentasan kemiskinan dan
MDGs dapat disimpulkan:
a. Pariwisata merupakan sektor andalan perekonomian dalam menciptakan
   lapangan pekerjaan dan pengetasan kemiskinan.10
b. Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) berkaitan dengan pariwisata sangat
   dibutuhkan dalam meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan yang optimal
    dalam meningkatkan pendapatan masyarakat.
c. kemiskinan yang intinya hanya satu, yaitu bagaimana membebaskan manusia
   dari belenggu kemiskinan
d. Penghapusan kemiskinan membutuhkan usaha bersama, pemerintah, organisasi
    masyarakat, sektor swasta, dalam konteks kemitraan global untuk pembangunan
             lebih kuat dan lebih efektif melalui upaya-upaya mencapai cita-cita luhur
             Millennium Development Goals (MDGs).
         e. Tantangan dalam pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) sangat
             beraneka ragam berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pendanaan

             yang terbatas.

0 komentar:

Post a Comment





Copyright © 2015 Indonesiaku Explore All Right Reserved
Templates Created By BTResponsive| Boost Your Skills