Romantisme Punthuk Setumbu

Posted By:
Published: 3:16 PM

Langit masih gelap, ketika belasan manusia berjejal di depan sebuah loket kecil. Beberapa merapatkan jaketnya yang tak terlalu tebal sambil mengulurkan rupiah ke penjaga loket. Belum juga antriannya menyusut, serombongan bule datang lengkap dengan kamera dan lensa telenya, berjalan sedikit tergesa dan segera menempatkan diri mereka di barisan antrian itu. Meski matahari masih terlelap dalam tidurnya, tapi Punthuk Setumbu sudah ramai. Mereka dan juga saya berada di sini untuk satu hal: menikmati sunrise dan lansekap indah di tempat ini!
Setelah tiket di tangan, bergegas saya mulai menapaki jalan setapak yang sudah dipaving menuju ke puncak bukit. Tiada lampu yang menerangi kecuali sinar lampu senter dari ponsel yang memang sengaja saya nyalakan. Beberapa penduduk lokal berjaga-jaga di pojokan-pojokan tertentu. Mereka bertugas menunjukkan arah. 

Menjelang terang

Dua puluh menit kemudian, saya sudah berjejal bersama para pemburu sunrise lainnya. Ah, benar kata seorang kawan. Punthuk Setumbu kini sudah semakin mainstream. Terlalu banyak orang yang datang ke sini sehingga membuat ritual menikmati sunrise  menjadi tak khusyu' lagi. Terlebih di Minggu dini hari seperti ini. Mungkin waktu terbaik menikmati sunrise di tempat ini adalah di awal minggu atau di tengah minggu.
Meski begitu saya tak gentar. Pagi ini saya sudah berniat untuk merayakan pergantian gelap ke terang di tempat ini.

Menunggu Matahari


Para Pemburu

Pemburu-pemburu sunrise itu, beberapa datang bersama keluarga atau teman-temannya, namun ada pula yang datang berpasangan bahkan sendirian saja. Sambil menunggu munculnya sang mentari, mereka mulai menyisir pojok-pojok tempat ini yang tersisa agar dapat menyaksikan sunrise dengan nyaman. Beberapa melakukan wefie atau selfie dari kamera poket atau kamera ponsel dengan bantuan lampu flash. Lainnya cuma duduk-duduk sambil mengobrol.  Sepasang kekasih yang duduk tak jauh dari saya sedang asyik mengobrol dan melambaikan tangan sambil tersenyum ketika tahu saya sedang menjadikan mereka sebagai 'model'.

"Nonton sunrise di sini memang lagi ngetren sekarang. Banyak para pengusaha perjalanan kecil-kecilan yang bikin paketan sunrise  di Punthuk Setumbu. Kalau beberapa tahun yang lalu sih....masih sepi!" sambil menikmati saya yang meneguk air mineral, seorang bapak-bapak bercerita. Ternyata beliau adalah salah seseorang yang ikut mengurusi penyelanggaraan "Wisata Nirwana Sunrise" ini.
"Lagipula, nonton sunrise di sini jauh lebih murah daripada yang di Borobudur sana," tambahnya lagi.
Saya mengangguk mengiyakan. "Makanya sampai penuh berjejalan ya, Pak!"
Bapak itu tertawa. "Rejeki itu namanya, Mbak!"

Sudah hampir pukul enam tapi rupanya matahari masih enggan menampakkan dirinya. Hanya semburat tipis berwarna jingga yang mulai terlihat menghiasi langit. Segera saya mengatur settingan kamera  dan mencoba untuk mengabadikan perubahan langit dari gelap yang perlahan menjadi terang. Sementara itu, beberapa dari para pemburu sunrise terlihat tak sabar. Momen munculnya matahari di tempat ini memang konon istimewa. Langit jingga, matahari bulat keoranyean, dan siluet Borobudur yang muncul dari sela bukit hijau. Tapi agaknya pagi ini, mendung mengacaukan segalanya.

Saya tersenyum kecut. Meski gagal mendapatkan sunrise istimewa namun setidaknya pagi ini saya berhasil mengapresiasi Borobudur dan alamnya dengan cara yang berbeda. Ternyata melihat Borobudur dari kejauhan sama indahnya, bahkan jauh lebih indah ketimbang melihat Borobudur dari jarak dekat. Kabut  tipis yang menyelimuti alam di sekitar Borobudur membuat tampilan bukit-bukit itu semakin indah. Sedikit terkesan monokromatik. Dan, khusyu'!

Misty morning

Ah! Jadi seperti inilah nirwana di dunia itu....



0 komentar:

Post a Comment





Copyright © 2015 Indonesiaku Explore All Right Reserved
Templates Created By BTResponsive| Boost Your Skills